This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 23 November 2011


Kamis, 17 November 2011

Mendamba Cinta Allah


بسم الله الرحمن الرحيم
“Tidaklah seseorang diantara kalian dikatakan beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri.”

Secara nalar pecinta dunia, bagaimana mungkin kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri kita? Secara hawa nafsu manusia, bagaimana mungkin kita memberikan sesuatu yang kita cintai kepada saudara kita?
Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui penjelasan Ibnu Daqiiqil ‘Ied dalam syarah beliau terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat di Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyah).
(“Tidaklah seseorang beriman” maksudnya adalah -pen). Para ulama berkata, “yakni tidak beriman dengan keimanan yang sempurna, sebab jika tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan seseorang kecuali dengan sifat ini.”
Maksud dari kata “sesuatu bagi saudaranya” adalah berupa ketaatan, dan sesuatu yang halal. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i.
“…hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu terjadi bagi dirinya.”
Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena makna hadits ini adalah tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya. Menegakkan urusan ini tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai jika saudaranya mendapatkan apa yang dia dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan dengan saudaranya dalam merasakan nikmat tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada hati yang rusak, semoga Allah Ta’ala memaafkan kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”
Abu Zinad berkata, “Sekilas hadits ini menunjukkan tuntutan persamaan (dalam memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun pada hakekatnya ada tafdhil (kecenderungan untuk memperlakukan lebih), karena manusia ingin jika dia menjadi orang yang paling utama, maka jika dia menyukai saudaranya seperti dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan menjadi orang yang kalah dalam hal keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa manusia menyukai agar haknya terpenuhi dan kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak kesempurnaan imannya adalah ketika dia memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya atas dirinya maka dia bersegera untuk mengembalikannya secara adil sekalipun dia merasa berat.”
Diantara ulama berkata tentang hadits ini, bahwa seorang mukmin satu dengan yang lain itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya karena keduanya laksana satu jiwa sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
“Orang-orang mukmin itu ibarat satu jasad, apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakit dengan demam dan tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)
“Saudara” yang dimaksud dalam hadits tersebut bukan hanya saudara kandung atau akibat adanya kesamaan nasab/ keturunan darah, tetapi “saudara” dalam artian yang lebih luas lagi. Dalam Bahasa Arab, saudara kandung disebut dengan Asy-Asyaqiiq ( الشَّّقِيْقُ). Sering kita jumpa seseorang menyebut temannya yang juga beragama Islam sebagai “Ukhti fillah” (saudara wanita ku di jalan Allah). Berarti, kebaikan yang kita berikan tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin kita menerapkan hal ini sekarang? Sekarang kan jaman susah. Mengurus diri sendiri saja sudah susah, bagaimana mungkin mau mengutamakan orang lain?”
Wahai saudariku -semoga Allah senantiasa menetapkan hati kita diatas keimanan-, jadilah seorang mukmin yang kuat! Sesungguhnya mukmin yang kuat lebih dicintai Allah. Seberat apapun kesulitan yang kita hadapi sekarang, ketahuilah bahwa kehidupan kaum muslimin saat awal dakwah Islam oleh Rasulullah jauh lebih sulit lagi. Namun kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya jauh melebihi kesedihan mereka pada kesulitan hidup yang hanya sementara di dunia. Dengarkanlah pujian Allah terhadap mereka dalam Surat Al-Hasyr:
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar(ash-shodiquun). Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 8-9)
Dalam ayat tersebut Allah memuji kaum Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk memperoleh kebebasan dalam mewujudkan syahadat mereka an laa ilaha illallah wa anna muhammadan rasulullah. Mereka meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan harta yang telah mereka kumpulkan dengan jerih payah. Semua demi Allah! Maka, kaum muhajirin (orang yang berhijrah) itu pun mendapatkan pujian dari Allah Rabbul ‘alamin. Demikian pula kaum Anshar yang memang merupakan penduduk Madinah. Saudariku fillah, perhatikanlah dengan seksama bagaimana Allah mengajarkan kepada kita keutamaan orang-orang yang mengutamakan saudara mereka. Betapa mengagumkan sikap itsar (mengutamakan orang lain) mereka. Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah memuji kaum Anshar sebagai Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat) karena kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (kaum Anshar) sebenarnya juga sedang berada dalam kesulitan. Allah Ta’aala memuji orang-orang yang dipelihara Allah Ta’aala dari kekikiran dirinya sebagai orang-orang yang beruntung. Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh kaum Anshar melainkan karena keimanan mereka yang benar-benar tulus, yaitu keimanan kepada Dzat yang telah menciptakan manusia dari tanah liat kemudian menyempurnakan bentuk tubuhnya dan Dia lah Dzat yang memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta menghalangi rezeki kepada siapapun yang Dia kehendaki.
Tapi, ingatlah wahai saudariku fillah, jangan sampai kita tergelincir oleh tipu daya syaithon ketika mereka membisikkan ke dada kita “utamakanlah saudaramu dalam segala hal, bahkan bila agama mu yang menjadi taruhannya.” Saudariku fillah, hendaklah seseorang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi agamanya. Misalkan seorang laki-laki datang untuk sholat ke masjid, dia pun langsung mengambil tempat di shaf paling belakang, sedangkan di shaf depan masih ada tempat kosong, lalu dia berdalih “Aku memberikan tempat kosong itu bagi saudaraku yang lain. Cukuplah aku di shaf belakang.” Ketahuilah, itu adalah tipu daya syaithon! Hendaklah kita senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan agama kita. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 148)
Berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan agama, bukan dalam urusan dunia. Banyak orang yang berdalih dengan ayat ini untuk menyibukkan diri mereka dengan melulu urusan dunia, sehingga untuk belajar tentang makna syahadat saja mereka sudah tidak lagi memiliki waktu sama sekali. Wal iyadzu billah. Semoga Allah menjaga diri kita agar tidak menjadi orang yang seperti itu.
Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu Karena Allah
Mari kita bersama mengurai, apa contoh sederhana yang bisa kita lakukan sehari-hari sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara kita yang juga kita cintai bagi diri kita…
Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam Ketika Bertemu
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai: Sebarkanlah salam diantara kalian.”(HR. Muslim)
Pada hakekatnya ucapan salam merupakan do’a dari seseorang bagi orang lain. Di dalam lafadz salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh” terdapat wujud kecintaan seorang muslim pada muslim yang lain. Yaitu keinginannya agar orang yang disapanya dengan salam, bisa memperoleh keselamatan, rahmat, dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu kebaikan dan bertambah banyaknya dia. Tentunya seseorang senang bila ada orang yang mendo’akan keselamatan, rahmat, dan barokah bagi dirinya. Semoga Allah mengabulkan do’a tersebut. Saudariku fillah, bayangkanlah! Betapa banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada saudara kita sesama muslim bila setiap bertemu dengan muslimah lain -baik yang kita kenal maupun tidak kita kenal- kita senantiasa menyapa mereka dengan salam. Bukankah kita pun ingin bila kita memperoleh banyak do’a yang demikian?! Namun, sangat baik jika seorang wanita muslimah tidak mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia takut akan terjadi fitnah. Maka, bila di jalan kita bertemu dengan muslimah yang tidak kita kenal namun dia berkerudung dan kita yakin bahwa kerudung itu adalah ciri bahwa dia adalah seorang muslimah, ucapkanlah salam kepadanya. Semoga dengan hal sederhana ini, kita bisa menyebar kecintaan kepada sesama saudara muslimah. Insya Allah…
Bertutur Kata yang Menyenangkan dan Bermanfaat
Dalam sehari bisa kita hitung berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk sekedar berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman. Seringkali obrolan kita mengarah kepada ghibah/menggunjing/bergosip. Betapa meruginya kita. Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan untuk membicarakan hal-hal yang setidaknya lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan menyesal. Misalnya, sembari makan siang bersama teman kita bercerita, “Tadi shubuh saya shalat berjamaah dengan teman kost. Saya yang jadi makmum. Teman saya yang jadi imam itu, membaca surat Al-Insan. Katanya sih itu sunnah. Memangnya apa sih sunnah itu?” Teman yang lain menjawab, “Sunnah yang dimaksud teman anti itu maksudnya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang disunnahkan untuk membaca Surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at.” Lalu, teman yang bertanya tadi pun berkata, “Ooo… begitu, saya kok baru tahu ya…” Subhanallah! Sebuah makan siang yang berubah menjadi “majelis ilmu”, ladang pahala, dan ajang saling memberi nasehat dan kebaikan pada saudara sesama muslimah.
Mengajak Saudara Kita Untuk Bersama-Sama Menghadiri Majelis ‘Ilmu
Dari obrolan singkat di atas, bisa saja kemudian berlanjut, “Ngomong-ngomong, kamu tahu darimana kalau membaca surat Al-Insan di rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at itu sunnah?” Temannya pun menjawab, “Saya tahu itu dari kajian.” Alhamdulillahbila ternyata temannya itu tertarik untuk mengikuti kajian, “Kalau saya ikut boleh nggak? Kayaknya menyenangkan juga ya ikut kajian.” Temannya pun berkata, “Alhamdulillah, insyaAllah kita bisa berangkat sama-sama. Nanti saya jemput anti di kost.”
Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan Maupun Tulisan
Suatu saat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya tentang aibnya kepada shahabat yang lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia pernah mendengar bahwa ‘Umarradhiyallahu ‘anhu memiliki bermacam-macam lauk di meja makannya. Lalu ‘Umarradhiyallahu ‘anhu pun berkata yang maknanya ‘Seorang teman sejati bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang memperlihatkan kepadamu aib mu (agar orang yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut. Yang perlu diingat, menasehati jangan dilakukan didepan orang banyak. Agar kita tidak tergolong ke dalam orang yang menyebar aib orang lain. Terdapat beberapa perincian dalam masalah ini -pen).’ Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya secara lisan tetapi bisa juga melalui tulisan, baik surat, artikel, catatan saduran dari kitab-kitab ulama, dan lain-lain.
Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil Hisab, At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka
Sangat banyak orang yang baru ingin bertaubat bila nyawa telah nyaris terputus. Maka, diantara bentuk kecintaan seorang muslim kepada saudaranya adalah saling mengingatkan tentang kematian. Ketika saudaranya hendak berbuat kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah mengetahui kapan kita mati. Dan kita pasti tidak ingin bila kita mati dalam keadaan berbuat dosa kepada Allah Ta’ala.
Saudariku fillah, berbaik sangkalah kepada saudari muslimah mu yang lain bila dia menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan tentang ilmu agama, atau mengajakmu mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia sangat menginginkan kebaikan bagimu. Sebagaimana dia pun menginginkan yang demikian bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan orang yang senang terjerumus pada kubangan kesalahan dan tidak ada yang mengulurkan tangan padanya untuk menariknya dari kubangan yang kotor itu? Tentunya kita akan bersedih bila kita terjatuh di lubang yang kotor dan orang-orang di sekeliling kita hanya melihat tanpa menolong kita…
Tidak ada ruginya bila kita banyak mengutamakan saudara kita. Selama kita berusaha ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah Ta’ala menanti kita. Janganlah risau karena bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk “ingin menang sendiri, ingin terkenal sendiri”. Wahai saudariku fillah, manusia akan mati! Semua makhluk Allah akan mati dan kembali kepada Allah!! Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kekal. Maka, melakukan sesuatu untuk Dzat Yang Maha Kekal tentunya lebih utama dibandingkan melakukan sesuatu sekedar untuk dipuji manusia. Bukankah demikian?
Janji Allah Ta’Ala Pasti Benar !
Saudariku muslimah -semoga Allah senantiasa menjaga kita diatas kebenaran-, ketahuilah! Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan mendapatkan kemuliaan di Akhirat. Terdapat beberapa Hadits Qudsi tentang hal tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah berfirman pada Hari Kiamat, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim; Shahih)
Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu ‘anhu dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, dengan sabdanya, ‘Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.’”
Abu Muslim radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, “Kemudian aku keluar hingga bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku menyebutkan kepadanya hadits Mu’adz bin Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman, ‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling tolong-menolong karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku.’ Orang-orang yang bercinta karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.” (HR. Ahmad; Shahih dengan berbagai jalan periwayatannya)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang bercinta karena keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi; Shahih)
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat (artinya: “Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan menjadi sempurna.” Do’a ini diucapkan Rasulullah bila beliau mendapatkan hal yang menyenangkan). Allah Ta’aala menyediakan
bagi kita lahan pahala yang begitu banyak. Allah Ta’aala menyediakannya secara cuma-cuma bagi kita. Ternyata, begitu sederhana cara untuk mendapat pahala. Dan begitu mudahnya mengamalkan ajaran Islam bagi orang-orang yang meyakini bahwa esok dia akan bertemu dengan Allah Rabbul ‘alamin sembari melihat segala perbuatan baik maupun buruk yang telah dia lakukan selama hidup di dunia. Persiapkanlah bekal terbaik kita menuju Negeri Akhirat. Semoga Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang kita cintai karena Allah di Surga Firdaus Al-A’laa bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin, dan shalihin. Itulah akhir kehidupan yang paling indah…
Maroji’:
  1. Terjemah Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyyah karya Ibnu Daqiiqil ‘Ied
  2. Terjemah Shahih Hadits Qudsi karya Syaikh Musthofa Al-’Adawi
  3. Sunan Tirmidzi

Rabu, 02 November 2011

Fenomena Wanita Karir







BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah Sang Pencipta Manusia, hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya. Hanya Dia yang Maha Tahu mana yang baik dan memperbaiki hamba-Nya, serta mana yang buruk dan membahayakan mereka. Oleh karena itu, Islam menjadi aturan hidup manusia yang paling baik, paling lengkap dan paling mulia, Hanya Islam yang bisa mengantarkan manusia menuju kebaikan, kemajuan, dan kebahagiaan dunia akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rosul apabila dia menyerumu kepada sesuatu (ajaran) yang memberi kehidupan kepadamu“. (QS. Al-Anfal: 24).
Allah adalah Dzat yang maha pengasih, maha penyayang dan terus mengurusi makhluk-Nya, oleh karena itu Dia takkan membiarkan makhluknya sia-sia, Allah berfirman:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa ada perintah, larangan dan pertanggung-jawaban)?!” (QS. Al-Qiyamah:36, lihat tafsir Ibnu Katsir 8/283).
Oleh karena itulah, Allah menurunkan syariat-Nya, dan mengharuskan manusia untuk menerapkannya dalam kehidupan, tidak lain agar kehidupan mereka menjadi lebih baik, lebih maju, lebih mulia, dan lebih bahagia di dunia dan di akhirat.

BAB II
BILA WANITA HARUS BEKERJA
Dunia kerja bukanlah gaya hidup baru bagi kaum hawa yang hidup diera millenium ini. Bursa tenaga kerja diberbagai sektor telah dimasuki kaum hawa dan tidak sedikit pula diantara mereka yang telah menduduki jabatan penting dengan membawahi ribuan pekerja lainnya.
Sosialisasi yang demikian beragam di tempat kerja, acapkali sering menimbulkan gesekan-gesekan yang melunturkan fitrah wanita yang esensial. Pelecehan seksual dan perselingkuhan adalah beberapa kasus yang sering dihadapi pekerja wanita.
Terlepas dari arus modernisasi, gaung persamaan gender, maupun teriakan emansipasi yang selalu diekspouse dan ditebar oleh kaum sekuleris dan feminis diseluruh dunia. Belum ditambah dengan perlakuan diskriminatif terhadap wanita itu sendiri, permasalahan kerja nampaknya tidak bisa dibiarkan begitu saja karena ini erat kaitannya dengan permasalahan perut dan hajat hidup orang banyak.
Paling tidak argumen yang selalu dilontarkan oleh para wanita karir adalah ingin membantu suami menambah penghasilan keluarga, membantu orang tua, mengembangkan bakat atau kemampuan yang dimilikinya, atau ilmu yang telah ia pelajari semasa dulu belajar di bangku perkuliahan. Asal bukan karena ingin lari dari tanggung jawab sebagai isteri atau ibu saja, naudzubillah.
Memang semua argumen itu seolah dapat diterima dan terlihat serasi bila sang wanita tersebut dapat mengatur waktu pekerjaan luarnya dan dapat menjaga kewajiban dasarnya sebagai seorang wanita, isteri atau ibu rumah tangga.
Kita mungkin telah banyak melihat ratusan bahkan ribuan wanita-wanita yang sukses dan berhasil menyeimbangkan itu semua, dan semua tampak terlihat serasi. Namun keserasian itu hanyalah dilihat dari satu sisi saja tanpa dilihat secara utuh. Kita hanya melihat hal itu serasi ketika argumen yang dilontarkan wanita tersebut telah di penuhi tanpa mengorbankan kewajiban yang lainnya. Dia bekerja di luar dan mampu menjaga kebutuhan suami dan serta rumah tangganya. Dia sukses menjadi wanita karir dengan tetap seorang ibu dari anak suaminya. Bahkan banyak lagi hal-hal lain yang tampak serasi dalam pandangan kita.
Bilakah demikian? Tentunya tidak, karena kita harus melihat dirinya secara utuh, bukan saja seorang sosok wanita namun jauh dari itu adalah sebagai sosok makhluk dan hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak pernah terlepas dari aturan-aturanNya.
Keserasian tidak hanya dilihat dengan hal-hal yang telah disinggung di atas. Karena keserasian pun harus dinilai dengan kebenaran, dan tidak ada kebenaran yang hakiki dalam hal ini melainkan hanyalah dari islam semata. Sedang dalam hal ini islam telah menerapkan beberapa aturan main secara khusus bagi wanita. Bukan untuk menjadikannya sempit terkukung, hina, ataupun membatasi (seperti halnya perlakuan orang-orang barat yang selalu mengeksploitasi, diskriminasi dan menghinakan wanita). Namun justru islam menghormatinya dengan penghormatan yang luhur, mengangkat martabatnya dan menempatkannya pada keadaan yang mulia dan terhormat.
Sebenarnya, kebutuhan wanita akan bekerja tidaklah dilarang mutlak dalam islam. Bahkan hukum wanita mengerjakan pekerjaan rumah suaminya hanyalah bersifat sunnah dan shadaqah kepada suami dan anak-anaknya. Sedangkan yang wajib adalah tidak menolak ajakan dan perintah suami apabila membutuhkan (dalam hal yang ma’ruf tentunya). Yang perlu diperhatikan hanyalah aturan dan konsekuensi yang harus diterima ketika dia harus bekerja di luar rumah, sehingga tidak mengharuskannya bermaksiat kepada suami dan keluarganya terlebih lagi kepada Rabb-Nya. Banyak pertimbangan syar’i yang harus diperhitungkan oleh seorang wanita karir. Apakah sesuatu yang darurat hingga mengharuskan dia bekerja di luar (misalkan suami lemah hingga tak mampu bekerja atau kebutuhan rumah tangga yang memang jauh tidak mencukupi)? Apakah lapangan pekerjaan yang dipilihnya ada di dalam koridor yang dimubahkan Allah baginya? Apakah dunia kerja tidak menuntut dirinya untuk berikhtilat? Apakah dia keluar dengan menjaga iffah (kesuciannya) dengan menutup aurat dan tidak ber-tabarruj ? Apakah dia telah meninggalkan anak-anaknya dengan bekal pendidikan yang islami? Apakah dengan bekerja di luar tidak menyia-nyiakan rumah dan penghuninya? Dan pertimbangan-pertimbangan syar’i lainnya menuntut dia untuk menunaikannya.
Oleh karena itu bila memang terpaksa menjadi seorang wanita karir, maka pastikanlah tuntunan-tuntunan syar’i tersebut dapat dipenuhi dan dijaga, Dan bila itu semua dapat terlaksana dengan sukses, inilah keserasian yang hakiki yang mudah-mudahan bernilai ibadah di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Sangat mungkin dilakukan walau sangat sulit asalkan kita tetap ingat dan sadar bahwa pekerjaan adalah bukan segala-galanya. Tapi yang paling dituntut dari kita dan wanita adalah ketaatan mutlak kepada Rab-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 Ÿwur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# ô`ÏB öNÏd̍øBr& 3 `tBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7B ÇÌÏÈ
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al Ahzab Ayat: 36)
Maka perlu dipertimbangkan kiranya sedikit banyaknya dampak yang akan ditimbulkan bila wanita harus bekerja di luar rumah. Cukuplah bagi kita gambaran-gambaran wanita barat yang begitu mendewasakan feminisme dan kebebasan semu.
BAB III
EMANSIPASI DILEMA KAUM HAWA
Emansipasi bisa dikatakan satu pemikiran dan pergerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran dan pergerakan ini telah menjadi obrolan hangat dikalangan kaum hawa terlebih setelah hegemoninya kebudayaan barat yang kental dengan nilai-nilai liberalisme. Bisa dikatakan pula bahwa emansipasi ini respon dari norma-norma agama, dalam hal ini adalah agama islam, yang diklaim telah memasung wanita dalam tingkat yang tidak manusiawi.
Dari hati yang penuh penyakit inilah, muncul beragam macam argumen dan diskusi yang menyudutkan nilai-nilai islam dengan membenturkannya pada gerakan emansipasi. Wajarlah jika selanjutnya emansipasi bisa disebut-sebut sebagai pemikiran dan pergerakan yang membebaskan wanita.
Padahal sejatinya, jika berkaca pada realita yang ada, emansipasi lebih cenderung pada upaya menghancurkan sendi-sendi masyarakat dengan cara menarik kaum wanita dari tugas dan kewajibannya yang asasi. Kalaupun jika para pengusung emansipasi wanita ini menilai bahwa apa yang disebut dengan emansipasi tidak lain hanyalah untuk mencerdaskan wanita dari belenggu kebodohan, maka ini adalah sebuah pernyataan yang tidak jelas atau bahkan menipu, mengapa? Karena upaya mencerdaskan wanita dari kebodohan yang dimaksud belum tentu mengarah pada kebaikan. Entah kebaikan dalam beragama atau bermasyarakat. Dari dampak inilah, emansipasi tidak lagi menjadi isu di tengah-tengah kalangan wanita. Tapi telah menjadi problematika sosial yang sudah semakin luas.
Semua ini tidak terlepas dari apa yang kita sebut sebagai konspirasi orang-orang kafir terhadap kaum muslimin. Emansipasi merupakan jelas-jelas propaganda yang di hadapakan dalam melawan ajaran agama islam dan kauk muslimin. Mereka yang tergabung dalam barisan pengusung emansipasi, tidak sedikit yang berasal dari kalangan kaum kafir dan liberal, mereka mungkin sangat mengerti bahwa islam dan ajaran yang di bawanya bisa menghambat kemajuan zaman yang mereka maksud. Tidak hanya itu, islam dan segala konsekuensinya dipandang sebagai penghalang kemajuan wanita dalam status sosialnya.
Orang-orang kafir ini tahu betul bahwa kaum muslimin, terutama para muslimahnya, berpegang teguh pada ajaran dan aturan-aturannya, maka kekutan umat islam akan semakin kokoh. Mereka yang bertujuan menghancurkan islam dan kaum muslimin sebagai budak-budak mereka, akan terhalang dengan keberadaan sebagian umat islam yang berpegang teguh pada agamanya. Bahkan bisa menjadi terbalik, keteguhan kaum muslimin dalam memegang dan menjalankan agama islam akan menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledakan barisan orang-orang kafir ini.
Memang sudah menjadi tabiat bahwa orang-orang kafir baik dari kalangan orang Nasrani, Yahudi, dan yang lain-lainnya sangat iri dan penuh benci jika menyaksikan kekuatan kaum muslimin. Maka dari itu, tidak ada cara lain untuk menghancurkan para muslimah kecuali menjadikan emansipasi sebagai langkah menghancurkan kekokohan umat islam. Emansipasi dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan para muslimah karena wanita adalah pilar utama dan pertama pendidikan yang menjadi guru bagi putra-putri mereka sebagai generasi selanjutnya. Singkatnya jika para muslimah ini lemah dalam ketaatan kepada Allah dan rela menjadi budak orang-orang kafir. Maka hampir bisa dipastikan bahwa anak-anak mereka pun akan mengikuti langkah ibunya. Rasa malu akan hilang serta loyalitas terhadap islam dan kaum muslimin akan luntur dan hilang bersamaan dengan berkembangya rasa cinta pada dunia dan takut mati.
BAB IV
WABAH EMANSIPASI WANITA
Di kawasan Eropa dan Amerika, emansipasi tidak lagi menjadi bahan yang kontroversial, sejatinya emansipasi sudah menjadi kewajiban yang harus diperjuangkan dan dituntut kehadirannya. Wanita dalam pandangan mereka, adalah sama dengan pria dalam hal apapun tanpa terkecuali. Perbedaan antara keduanya hanya sebatas perbedaan biologis dan tidak lebih dari itu. Dalam bidang apapun, wanita dan tugas yang sama dengan laki-laki pada umumnya, dalam hal berpakaian misalnya, tidak ada aturan yang membatasi sebagaimana laki-laki.
Untuk di Amerika sendiri, kemunculan emansipasi ini tidak lepas dari keberadaan Women’s Liberation Movement atau gerakan pembebasan wanita pada tahun 60-an. Untuk selanjutnya, gerakan ini dikenal dengan istilah ‘Women’s Lib’ yang disingkat menjadi WL. Pergerakan ini merebak pesat dihampir seluruh kawasan Amerika. Tentu saja bukan hanya WL yang gencar bergerak. Di Eropa pun telah banyak gerakan-gerakan serupa yang mengusung tema ‘pembebasan wanita’. Pembebasan yang dimaksud adalah pembebasan dari segala macam norma-norma yang dipandang diskriminatif. Sebutlah isu kekerasan rumah tangga yang sering mereka alami atau pelecehan seksual yang sudah menjadi budaya masyarakat mereka. Bahkan tidak hanya itu, isu-isu kesetaraan dalam bidang politik seperti hak pemberian suara pun menjadi bagian dari latar belakang munculnya beberapa pergerakan emansipasi.
Ada beberapa nama yang memperkuat dan menjadi tokoh-tokoh sentral emansipasi seperti Christine de Pizan, Elizabeth Cady Stanton, Susan B. Anthony, Lucy Stone, Olympia Brown, dan Hellen Pitts. Mereka dan orang-orang bersamanya inilah yang cukup berpengaruh dalam upaya penyebaran ide emansipasi, adapun seperti di Indonesia yang gigih menyuarakan emansipasi seperti Rieke Diah Pitaloka pemeran tokoh Oneng dalam Film Bajaj Bajuri dan tentunya di bantu oleh para tokoh Liberal di Indonesia.
Dampak bergejolaknya emansipasi ini memang begitu terasa di Eropa, kondisi sosial masyarakat mereka mengalami perubahan. Tatanan hukum pun banyak mengalami perombakan terutama yang terkait dengan kewanitaan dalam masyarakat. Sebut saja seperti munculnya undang-undang yang menjamin hak-hak wanita dalam berpolitik, hak-hak mengajukan perceraian, hak-hak membuat keputusan sendiri terutama yang terkait dengan masalah kehamilan, kontrasepsi dan aborsi, serta hak-hak kepemilikan properti atau harta benda. Tentu saja hampir semua aturan-aturan di masyarakat barat tidak mengenal nilai-nilai islam, semua peraturan demi peraturan berdasar dan berlandaskan kebebasan yang berasal dari logika kemanusiaan. Apapun yang dipandang baik menurut logika, entah individu atau kelompok maka itu pantas dijadikan hukum. Adapun islam yang tercermin dari aturan Al Qur’an dan Al Hadits sama sekali tidak mendapat tempat di ranah pilitik dan undang-undang mereka. Toh bukan masyarakatnya adalah masyarakat kafir? Jadi wajarlah!
Namun terkesan tidak begitu wajar jika negara-negara timur (negara kaum muslimin) juga latah mengadopsi ide-ide barat yang jelas-jelas melanggar islam. Untuk kasus emansipasi ini pun laku seperti kacang goreng yang laku di pasaran. Gaung kesetaraan gender dan pembebasan wanita terdengar di seantero jazirah Arab. Gerakan-gerakan feminisme sudah mendapatkan tempatnya dihampir setiap negara kaum muslimin, entah kenapa dan mengapa tapi yang pasti semuanya terjadi sampai saat ini. Untuk lebih jelasnya di bawah ini adalah beberapa tokoh emansipasi dari Kawasan Timur Tengah beserta pernyataan-pernyataanya:
1. Marcos Fahmi. Dia adalah seorang kristen yang cukup fenomenal dengan bukunya al Mar’ah fi asy syarqy atau wanita di Timur, maksudnya di dunia islam, pada tahun 1894 M, di antara seruannya adalah tentang wajibnya melepas cadar atau hijab bagi wanita, ikhtilat atau campur baur antara laki-laki dengan wanita, mempersulit perceraian atau melarang poligami.
2. Huda Sya’rawi. Ia seorang wanita yang berhasil dididik oleh Eropa, dialah pula yang telah merealisasikan ajaran-ajaran gurunya dengan membentuk Organisasi Persatuan Wanita Mesir, yang bertujuan menuntut emansipasi wanita, kebebasan wanita untuk membuka cadar, dan kebebasan bergaul antara laki-laki dan wanita.
3. Jamil Shidqi az-Zuhaimi. Dia adalah seorang penyair kawakan dan isi syairnya pun berisi tentang emansipasi wanita.
Begitulah yang terjadi, propaganda emansipasi tidak lagi menjadi isu di tengah-tengah masyarakat Eropa dan Amerika. Maka jangan kaget wanita-wanita kaum muslimin pun sudah banyak yang melepas hijabnya demi merebut menjadi wanita “Modern”. Sayangnya pemikiran ini pun diambil oleh masyarakat kita. Ada sederet tokoh wanita yang cukup vocal menyuarakan emansipasi baik dari kalangan wanita sendiri ataupun dari kalangan laki-laki. Isunya memang beragam seperti isu KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga, eksploitasi wanita yang dikemas dalam kasus-kasus penjualan wanita, serta lahan politik bagi kaum hawa dengan kisaran 30% kursi parlemen bagi wanita.
Keterbukaan politik untuk kaum hawa cukup membuat mereka tertarik untuk ikut serta dalam perpolitikan negara. Lebih lanjut, caleg-caleg wanita dari beberapa partai kini sudah semakin ramai dibicarakan dan dipertimbangkan. Foto-foto mereka terpampang di sudut-sudut kota layaknya seperti artis-artis ibu kota, seperti model yang menawarkan ‘perubahan dan angin segar’ bagi masyarakat.
BAB V
WANITA KARIR SIMBOL EMANSIPASI WANITA
Emansipasi kadang disimbolkan dengan wanita karir. Cukup beralasan memang toh karir bagi wanita dipandang sebagai wujud dari keberhasilannya mendobrak norma-norma yang sebelumnya dipandang diskriminatif. Wanita karir dengan segudang pekerjaan dan sejumlah aktifitas hampir menjadi impian bagi setiap kaum hawa. Lalu bagaimana islam memandang hal seperti ini...? Sebelumnya, kita perlu memahami bahawa karir yang di maksud bisa diartikan memiliki pilihan lain selain pekerjaan bisa pula diartikan dengan definisi lain yang tidak hanya sebatas itu, maksudnya tidak hanya mencari uang tetapi juga mencari popularitas atau kekuasaan. Jika yang dimaksud adalah definisi yang pertama, maka hukum wanita bekerja adalah mubah dalam islam selama ia tidak melanggar aturan islam, jenis pekerjaan bukan jenis yang di larang, mendapat izin dari suami dan ia sendiri tidak meninggalkan kewajibannya sebagai istri atau ibu jika sudah berumah tangga dan punya anak. Adapun jika karir yang di maksud adalah mencari popularitas pengakuan sosial atas eksistensinya, atau merebut kekuasaan dari sebuah masyarakat, maka inilah yang menjadi problematika sesungguhnya. Definisi karir inilah yang telah menggiring kaum wanita kepada pelanggaran-pelanggaran norma agama, bahkan pelanggaran fitrahnya sendiri mengapa demikian? Karena sesungguhnya wanita karir semacam ini telah membenturkan hati nuraninya sendiri sebagai wanita dengan obsesi dan ambisi.
Mereka yang sudah terlanjur bergelut dengan karirnya, bisa dipastikan lupa dengan tugas dan kewajibannya, tidak jarang kita menemukan seorang ibu yang menitipkan anaknya kepada baby sitter untuk beberapa saat selama ia bekerja terutama pendidikan agama, wanita-wanita ini sibuk bekerja di kantor padahal suaminya masih mampu memberikan nafkah, parahnya ada pula yang terlibat masalah seksual akibat fitnah yang ditimbulkan seperti campur baur laki-laki dan perempuan atau penampilan wanita-wanita karir ini yang sudah di luar batas.
BAB VI
NAFKAH KEWAJIBAN SUAMI
Dalam Islam, yang wajib memberikan nafkah adalah suami. Islam menjadikan suami sebagai kepala keluarga, di pundaknyalah tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang sang isteri memiliki tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.
Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
WANITA TINGGAL DI RUMAH
Perbuatan ihsan (baik) seorang suami harus dibalas pula dengan perbuatan yang serupa atau yang lebih baik oleh isteri. Ia harus berkhidmat kepada suaminya dan menunaikan amanah mengurus anak-anaknya menurut syari’at Islam yang mulia. Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada dirinya untuk mengurus suaminya, mengurus rumah tangganya, mengurus anak-anaknya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, artinya : “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [QS. Al-Ahzaab : 33].
Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan perkataannya : “Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan. Termasuk diantara kebutuhan yang syar’i adalah keluar rumah untuk shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syaratnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya : “Wanita adalah aurat. Apabila ia keluar, syaitan akan menghiasinya dari pandangan laki-laki.” [HR.Tirmidzi (no. 1173). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 6690)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah berkata, “Tidak boleh baginya untuk keluar dari rumahnya kecuali mendapat izin dari suami. Seandainya ia keluar tanpa izin dari suaminya, maka ia telah berlaku durhaka dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan wanita tersebut berhak mendapatkan hukuman.” [Majmuu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXXII/281)].
BAB VII
WANITA BEKERJA DI LUAR RUMAH
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bekerja dan mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Akan tetapi, Islam pada dasarnya tidak melarang wanita untuk bekerja.
Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at. Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Alloh jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja dalam firman-Nya:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Alloh juga mensyariatkan bisnis kepada semua hambanya, Karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Alloh berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29).
Perintah ini berlaku umum, baik pria maupun wanita.
BAB VIII
SYARAT WANITA BEKERJA
Meskipun demikian, WAJIB diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnisnya, syarat – syarat sebagai berikut :
1. Bebas dari hal-hal yang menyebabkan masalah, kemungkaran, membahayakan agama dan kehormatan.
2. pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
3. Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib mentaati suaminya.
4. Menerapkan adab-adab islami, seperti: Menjaga pandangan, memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dll.
5. Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dll.
6. Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya. Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: Sekolah wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dll.
7. Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dan lain-lain.
BAB IX
DAMPAK NEGATIF WANITA BEKERJA DI LUAR RUMAH
Meskipun pada dasarnya Islam tidak melarang wanita bekerja di luar rumah, namun tetap saja ancaman/bahaya kerusakan dan kemungkaran akan terus ada, seiring dengan kelemahan dan keterbatasan seorang wanita secara khusus dan sebagai manusia secara umum.
1. Bahaya bagi wanita itu, yaitu akan hilangnya sifat dan karakteristik kewanitaannya, menjadi asing dengan tugas rumah tangga dan kurangnya perhatian terhadap anaknya.
2. Bahaya bagi diri suami, yaitu suami akan kehilangan curahan kelembutan, keramahan, dan kegembiraan. Justru yang didapat adalah keributan dan keluhan-keluhan seputar kerja, persaingan karir antar teman, baik laki-laki maupun wanita. Bahkan, tidak jarang suami kehilangan kepemimpinannya lantaran gaji isteri lebih besar. Wallaahul Musta’aan.
3. Bahaya (dampak) bagi anak, yaitu hilangnya kelembutan, kasih sayang dan kedekatan dari seorang ibu. Semua itu tidak dapat digantikan oleh seorang pembantu atau pun seorang guru. Justru yang didapati anak adalah seorang ibu yang pulang dalam keadaan letih dan tidak sempat lagi memperhatikan pendidikan anak-anaknya.
4. Bahaya (dampak negatif) bagi kaum laki-laki secara umum, yaitu apabila semua wanita keluar dari rumahnya untuk bekerja, maka secara otomatis mereka telah menghilangkan kesempatan bekerja bagi laki-laki yang telah siap untuk bekerja.
5. Bahaya (dampak negatif) bagi pekerjaan tersebut, yaitu bahwa fakta di lapangan menunjukkan bahwa wanita lebih banyak memiliki halangan dan sering absen karena banyaknya sisi-sisi alami (fitrah)nya yang berpengaruh terhadap efisiensi kerja, seperti haidh, melahirkan, nifas, dan lainnya.
6. Bahaya (dampak negatif) bagi perkembangan moral, yaitu hilangnya kemuliaan akhlak, kebaikan moral serta hilangnya rasa malu dari seorang wanita. Juga hilangnya kemuliaan akhlak dan semangat kerja dari kaum suami. Anak-anak pun menjadi jauh dari pendidikan yang benar semenjak kecil.
7. Bahaya (dampak negatif) bagi masyarakat, yaitu bahwa fenomena ini telah mengeluarkan manusia dari fitrahnya dan telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sehingga mengakibatkan rusaknya tatanan hidup dan timbulnya kekacauan serta keributan.
BAB X
PENUTUP
Solusi atas problema wanita bekerja di luar rumah, tergantung pada kondisi atau keadaan seorang wanita. Apakah sang suami mengijinkannya untuk bekerja? Apa pekerjaannya tidak mengganggu tugas utama dalam rumah tangga? Apa tidak ada pekerjaan yang bisa dikerjakan dalam rumah? Jika lingkungan kerja yang ada keadaannya ikhtilat (campur antara pria dan wanita), apa tidak ada pekerjaan lain yang lingkungannya tidak ikhtilat? Jika tidak ada, apakah bekerjanya seorang wanita sudah dalam kondisi darurat, sehingga apabila tidak bekerja , akan terancam hidupnya atau paling tidak hidupnya akan terasa amat berat? Jika memang demikian, sudahkah sang wanita/isteri menerapkan adab-adab islami ketika keluar rumah? Insya Allah dengan uraian di atas, kita bisa menjawab problema tersebut di atas…
Memang, seringkali kita butuh waktu dan step by step dalam menerapkan syariat dalam kehidupan kita, tapi peganglah terus firman-Nya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertaqwalah kepada Alloh semampumu!” (QS. At-Taghabun:16)
dan firman-Nya :
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
Jika tekadmu sudah bulat, maka tawakkal-lah kepada Alloh!” (QS. Al Imran:159),
Juga sabda Rasul -shallallahu alaihi wasallam- “Ingatlah kepada Allah ketika dalam kemudahan, niscaya Allah akan mengingatmu ketika dalam kesusahan!” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani), dan juga sabdanya:
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُ (رواه أحمد وقال الألباني: سنده صحيح على شرط مسلم)
Sungguh kamu tidak meninggalkan sesuatu karena takwamu kepada Alloh azza wajall, melainkan Alloh pasti akan memberimu ganti yang lebih baik darinya” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani).
Wallahu A’lam bish showab...
1.