Yang dimaksud tarbiyyah
fikriyyah berpola manhajiyyah adalah
pendidikan berpola fikrah (pemikiran) salaf, pendalaman faham-faham yang benar di dalam jiwa serta mewas-padai faham-faham keliru yang diajarkan kepada kaum muslimin. Tujuan pendidikan tersebut adalah lahirnya generasi baru yang
terpola oleh pemikiran as-Salaf ash-Shalih serta pemahaman mereka terhadap
al-Qur`an dan as-Sunnah.
1.
Mendidik Jiwa Untuk Beradab Kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. al-Hujurāt
(49): 1]
Konsekwensi adab tersebut adalah:
a.
Lebih mengutamakan syarī`ah (al-Qur`an dan Sunnah
Rasulullah saw), kemudian menundukkan akal terhadapnya.
b.
Memulai dengan keakuratan riwayat (sum-ber berita) sebelum dirayat (kandungan
isi berita).
c.
Harus mengedepankan nash-nash (lafazh-lafazh) syar`i (al-Qur`an dan
as-Sunnah) di atas nazhar `aqliy (pandangan akal).
d.
Harus meyakini bahwa nash-nash yang shahih tidak akan mungkin berbenturan dengan akal
yang lurus.
e.
Harus meyakini bahwa para shahabat Nabi saw yang pertama kali mengalami masa
turunnya al-Qur`an dan terbina oleh
sosok murabbi (pendidik) agung, pasti le-bih banyak serta lebih baik penelitian
dan pemahamannya terhadap syari`at yang hanīf ini. Maka, yang rasional menurut kita adalah apa saja yang sama dengan hidayah yang mereka fahami, sedangkan yang keliru menurut kita adalah apa saja yang bertentangan dengan konsep mereka.
Inilah kaedah pertama dalam manhaj salafi yang dalam faktanya menjadi unsur
penting yang membedakannya dengan manhaj-man-haj ahli bid`ah, di mana pada umumnya me-reka mendidik penganutnya untuk keluar dari kedaulatan al-Qur`an dan as-Sunnah serta mengagungkan pandangan-pandangan dan perkataan para syeikh serta tokoh-tokoh mereka.
2.
Mendidik jiwa untuk mengambil zhahir (tekstual) al-Qur`an dan as-Sunnah (sam-pai ada dalil yang menunjukkan bukan zhahir yang dimaksud) serta menolak
bentuk-bentuk pena`wilan kalam atau filsafat.
“Sesungguhnya Kami menurunkannya be-rupa al-Qur'an dengan berbahasa ‘Arab, agar kalian memahaminya” [QS. Yūsūf (12): 2]
“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia
dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muahammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang mem-beri peringatan, dengan bahasa
Arab yang jelas” [QS. asy-Syu’arā’ (26): 192-195]
Imam asy-Syāfi`iy
rhm berkata:
“al-Qur`an
itu berbahasa Arab
sebagaimana yang disifatkan. Hukum-hukum yang
terdapat di dalamnya bersifat zhahir
dan umum. Tidak bo-leh seseorang memalingkan ma`na zhahir kepada makna
bathin, atau makna umum kepada makna khusus kecuali dengan adanya petunjuk dari
Ki-tabullah, jika tidak, maka adanya petunjuk
dari sunnah Rasulullah yang
menunjukkan bahwa makna nya adalah
khusus bukan umum, bathin dan bukan
zhahir” (asy-Syāfi`iy, Mukhtalaf al-Hadīts (Hāmisy
al-Umm): 7/27)
Ta`wil
yang dikenal para ulama salaf ada-lah
ta`wil dalam arti tafsir atau fakta akhir dari sesuatu, bukan mencari
makna yang le-mah dikarenakan bertentangan dengan akal atau pandangan seseorang. Ta`wil yang dike-nal mereka bukan pena` wilan para filosof yang terlalu dangkal dalam memahami nash,
seperti pena`wilan sifat-sifat Allah swt.
3.
Mendidik jiwa untuk tidak menempat-kan para ulama ummat di tempat yang
hanya diduduki oleh Rasulullah saw.
Yaitu kedudukan yang diberikan Allah swt kepadanya, sebagaimana firman-Nya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya
ba-gimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya” [QS. al-Hasyr
(59): 7]
Hanya Rasulullah saw yang wajib kita terima apa saja yang dikatakan dan
diamal-kannya, serta kita wajib menolak apa saja yang bertentangan dengannya. Sedangkan selain beliau saw, yaitu
para ulama kaum muslimin, maka pendapatnya
dapat diterima dan dapat pula ditinggalkan atau ditolak.
Ahlus Sunnah wal Jama`ah tidak memiliki sosok yang diikuti secara total
kecuali Ra-sulullah saw, yang tidak berbicara kecuali dengan wahyu. Beliaulah yang wajib dibe-narkan
kabar beritanya serta yang wajib di-ta`ati segala perintahnya. Kedudukan ini
ti-dak dimiliki oleh para imam manapun se-lain beliau saw, bahkan siapapun juga, se-mulia apapun, semuanya
bisa diterima dan ditolak, pandangan maupun pendapatnya.
4. Mendidik jiwa untuk mencintai para shahabat dan ahlul
bait Nabi saw.
Ahlus
Sunnah senantiasa
membersihkan kalbu dan lisan mereka dari
upaya memper-bincangkan para shahabat Rasulullah saw. Mereka adalah orang-orang yang digambar-kan
oleh Allah swt dalam firman-Nya:
“Dan
orang-orang yang datang sesudah me-reka
(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya
Rabb kami, beri ampunlah kami dan sau-dara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari
kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami ter-hadap
orang-orang yang beriman Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyan-tun lagi Maha Penyanyang”
[QS. al-Hasyr (59): 10]
Ahlus
Sunnah adalah orang-orang yang sangat memahami
sabda Rasulullah saw yang
melarang mencaci maki para shahabat:
((
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِيْ فَوَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ
نِصْفَهُ ))
“Janganlah kalian mencaci para shahabatku. Demi Allah Yang
jiwaku berada dalam geng-gaman tangan-Nya,
seandainya salah seorang dari kalian
menafkahkan emas sebesar gunung Uhud,
maka hal tersebut tidak akan dapat me-nyamai
satu mud atau setengahnya (kebaikan) mereka sekalipun” (HR.
al-Bukhāriy 3673 dan Muslim 2541)
Ahlus
Sunnahpun mencintai ahlul bait atau keluarga
Rasulullah saw secara tepat dan benar, sesuai tuntunan Allah swt dan
Rasul-Nya saw. Kecintaan mereka kepada ahlul
bait tidak menjadikan mereka melampaui
batas mendudukkan mereka melebihi kedudukan Allah swt atau para rasul utusan-Nya, seperti yang diperbuat kaum
Syi`ah Rafidhah yang hina-dina.
5. Mendidik jiwa untuk selalu menuntut ilmu yang bermanfa`at dan untuk mema-hami masalah-masalah syar`i melalui al-Qur`an dan as-Sunnah,
dengan memper-hatikan keshahihan dan kedha`ifan alur
periwayatannya.
Imam
al-Bukhariy dalam kitab Shahihnya membuat satu bab khusus yang diberi judul “Bab Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan”, berlandaskan firman Allah Swt:
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah …” [QS.
Muhammad
(47): 19]
‘Umar bin
al-Khaththab rda berkata:
( تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تَسُوْدُوا )
“Bertafaqquhlah (belajarlah agama) sebelum
kalian memimpin”
Imam al-Bukhariy rhm
berkomentar:
(
وَبَعْدَ أَنْ تَسُوْدُوْا وَقَدْ تَعَلَّمَ الصَّحَابَةُ وَهُمْ كِبَارُ )
“Begitu pula setelah memimpin, karena para shahabat pun masih
tetap belajar di saat me-reka telah menjadi
pembesar (pemimpin)”
(Fath al-Bāriy: 1/192)
6. Mendidik jiwa untuk mencintai para ulama `amilin (aktivis yang mengamal-kan ilmu) dan para imam mujtahid serta menjadikan ijma` mereka sebagai dalil.
Allsah swt
berfirman:
“…Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat…” [QS. al-Mujādilah (58): 11]
7. Mendidik jiwa untuk senantiasa meme-lihara jiwa dan kehormatan kaum mus-limin.
Rasulullah saw
bersabda:
(( كُلُّ الْمُسْلِمِ
عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ ))
“Setiap muslim atas muslim lainnya diharam-kan (menyakiti) darah, harta dan kehormatan-nya” (HR. Muslim:
2564)
Berkaitan dengan hal
tersebut, Ibnu al-`Arabiy berkata:
(
ثَبَتَ النَّهْيُ عَنْ قَتْلِ الْبَهِيْمَةِ بِغَيْرِ حَقٍّ وَالْوَعِيْدُ فِيْ ذَلِكَ فَكَيْفَ بِقَتْلِ
الآدَمِيِّ؟! فَكَيْفَ بِالْمُسْلِمِ؟! فَكَيْفَ بَالتَّقِيِّ الصَّالِحِ؟!)
“Sudah
sangat jelas larangan dan ancaman membunuh
binatang tanpa hak, apalagi kalau membunuh
seorang manusia? Apalagi kalau membunuh
seorang muslim? Apalagi kalau membunuh
insan bertaqwa lagi shalih?”(Fath
al-Bāriy: 12/196)
8. Mendidik jiwa untuk siap mengemban amanah dan tanggung jawab ummat dengan beramal jama`i (terkordinir dan
terpimpin).
Da`wah
kepada Allah swt, bekerja untuk menegakkan agama-Nya
dan upaya mening-gikan bendera
kemuliaan-Nya adalah usaha yang
sangat besar untuk hanya sekedar dila-kukan
oleh hanya beberapa gelintir individu atau
perorangan tertentu. Bahkan sebaliknya, seluruh kaum muslimin berkewajiban untuk gotong-royong, bahu-membahu dan berorga-nisasi secara giat untuk
ikut serta dalam me-negakkan kewajiban besar tersebut.
Allah Swt berfirman:
“…Dan
tolong-menolonglah kalian dalam (me-ngerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pe-langgaran.
Dan bertaqwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.”
[QS. al-Mā’idah (5): 2]
9. Mendidik jiwa untuk mencintai jihad dan siap untuk syahid fi sabilillah (de-ngan
tuntunan manhaj yang benar).
Rasulullah saw
mengingatkan:
((
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتًمُ الْجِهَادَ
سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرَاجَعُوا
دِيْنَكُمْ ))
“Jika kalian jual beli `inah, dan bergelut dengan ekor sapi serta ridha dengan pertanian, lalu meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menim-pakan kehinaan kepada kalian. Suatu kehinaan
yang tidak pernah dicabut dari kalian,
sampai kalian kembali kepada ajaran
agama kalian”
(HR. Abū Dāwud: 3445, dishahihkan al-Albāniy dalam as-Silsilah ash-Shahīhah:
11)
10. Mendidik jiwa untuk memperhatikan secara benar dan mendalam tentang amar
ma`ruf dan nahi munkar.
Allah Swt berfirman:
“Kamu
adalah ummat yang terbaik yang di-lahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah. …”
[QS. Āli
‘Imrān (3): 110]
11. Mendidik jiwa untuk memahami fiqh waqi`
(pemahaman terhadap realitas ummat)
dan segala tipu-daya musuh-musuh
Islam, baik dari kalangan Yahudi dan
Nashrani, maupun dari kaum seku-ler dan orang-orang munafiq.
Allah Swt berfirman:
“Dan
demikianlah Kami menerangkan ayat-ayat
al-Qur’an. (supaya jelas jalan orang-orang
yang shaleh) dan supaya jelas (pula) jalan
orang-orang yang berdosa” [QS. al-An’ām (6): 55]
Dalam
al-Qur`an, Allah swt telah men-jelaskan jalan orang-orang mu`min dengan rinci serta
jalan orang-orang mujrim dengan rinci
pula. Apa saja akibat yang akan dite-rima
keduanya, perilaku keduanya, siapa saja para pendukungnya serta
sebab-sebab kemuliaan dan kehinaan yang ada pada ke-duanya pun telah dijelaskan
secara rinci.
Kedua
jalan tersebut, yaitu jalan kaum mu`minin dan jalan
kaum mujrimin telah ditampilkan, diungkap, ditegaskan dan di-rinci
secara gamblang oleh Allah swt dalam kitab-Nya.
Maka
dari itu, orang-orang yang menge-nal Allah swt,
Kitab dan agama-Nya pastilah mengetahui
secara rinci jalan orang-orang mu`min
dan jalan orang-orang mujrim ter-sebut.
Inilah di antara urgensi memahami fiqh
waqi`, yaitu memahami realitas
kehidupan kaum muslimin serta kaum
kafirin dan kaum munafiqin.
Imam
Ibnu al-Qayyim rhm membagi 4 kelompok orang dalam masalah ini, yaitu:
1. Kelompok orang yang mengetahui de-ngan jelas dan
rinci jalannya kaum mu`-minin dan kafirin, baik secara ilmiyyah maupun secara
faktual. Mereka adalah orang-orang yang paling berilmu.
2. Kelompok
orang yang amat buta tentang jalannya kaum
mu`minin dan kaum ka-firin, secara rinci.
Mereka adalah
orang-orang yang serupa dengan binatang
ternak, bahkan lebih dekat kepada jalannya kaum mujrimin.
3. Kelompok
orang yang mengerahkan se-gala daya dan
upayanya hanya untuk me-ngenal jalan kaum mu`minin, tanpa mau peduli
dengan jalan kaum mujrimin.
Walaupun dia mengetahui jalan kaum mujrimin, akan tetapi hanya secara global.
Dia hanya tahu bahwa yang menyelisihi jalan
kaum mu`minin pasti batil, sekalipun dia
tidak memahaminya secara rinci. Apa-bila dia mendengar sesuatu yang menye-lisihi jalan kaum mu`minin, dia tidak mau
mendengarkan dan tidak menyibukkan diri untuk
memahami dan mengetahui dengan lebih dalam sisi kebatilannya.
4. Kelompok
orang yang hanya mengenal dengan dalam
tentang berbagai jalan ke-burukan, kebid`ahan dan kekufuran se-cara rinci, akan tetapi dia hanya mengenal
jalan kaum mu` minin secara global. (al-Fawā’id: 257-259).
/
0 komentar:
Posting Komentar